Monday, March 2, 2015

Analisis Air dan Mineral dengan Parameter Kalsium secara titrimetri


I.            Sub Judul
Analisis Air dan Mineral dengan Parameter Kalsium secara titrimetri

II.            Tujuan
Siswa dapat melakukan analisa air dengan parameter Kalsium secara titrimetri.

III.            Dasar Teori
Sebagian besar dari Kalsium dalam tubuh terdapat dalam tulang (lebih dari 90% dari Ca,dalam tubuh). Tulang sebagian besar terdiri dari kalsium fosfat, 13% kalsium karbonat, 2% magnesium fosfat dan 5% zat-zat lain serta beberapa merupakan sitrat sebanyak 0,5 sampai 3% (Wahju, 1997). Kalsium dibutuhkan sebagai penyusunan tulang dan besar konformasi tulang yang dibentuk sebagai tempat melekatnya daging dan menopang tubuh. Proses pembentukan korformasi tulang, proses kalsifikasi tulang meningkat. Proses kalsifikasi tulang memerlukan jumlah kalsium (Ca) dan fosfor (P) yang seimbang guna dibawa ke dalam matriks tulang yang akan mempengaruhi kepadatan, kekuatan dan struktur tulang (Bangun,et al.2013).
          Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh yaitu 1,5 sampai 2% dari berat badan (Granner,2003). Jumlah tersebut 99% berada di dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit {(3Ca(PO4)2.Ca(OH)2}. Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma pada konsentrasi kurang lebih 2,25 sampai 2,60 mmol/l (9 sampai 10,4 mg/100 ml). Densitas tulang berbeda menurut umur, meningkat pada bagian pertama kehidupan dan menurun secara berangsur setelah dewasa. Selebihnya kalsium tersebar luas di dalam tubuh. Cairan ekstraselular dan intraselular kalsium memegang peranan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti untuk transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah dan menjaga (Almatsier,2004).
Dalam keadaan normal sebanyak 30% sampai 50% kalsium yang dikonsumsi diabsorbsi tubuh. Kemampuan absorbsi lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan menurun pada proses menua. Kemampuan absorbsi berdasarkan jenis kelamin jantan lebih tinggi dibandingkan dengan betina pada semua golongan usia (Almatsier,2004). Menurut Wahju (1997) menyebutkan bahwa sumber kalsium dalam pakan dapat berasal dari bahan pakan seperti tepung ikan, tepung daging, tepung tulang, tepung batu kapur, dan kulit kerang. Tepung batu kapur (Carbonat, CaCO3) yang sering ditambahkan pada pakan sebagai sumber kalsium memiliki kandungan kalsium 38%.
          PMM atau Poultry meat meal adalah campuran tulang yang dihancurkan dan digiling kasar bersama daging uggas. Keduanya tersebut digunakan sebagai pakan hewan bisa juga sebagai pupuk. PMM menghemat penggunaan protein yang lebih mahal seperti kacang kedelai dan Jagung  yang mengandung asam asam amino penting dan daya cerna yang baik memiliki keunggulan dan relatif lebih murah daripada bahan pakan lain (Anonim,2013).
          Fungsi kalsium bagi hewan ternak sebagian besar untuk pembentukan tulang, pada bangsa ayam yang dewasa dipergunakan untuk pembentukan kulit telur. Kalsium juga penting untuk pembekuan darah, dibutuhkan bersama-sama dengan natrium dan kalsium untuk denyutan jantung yang normal, dan juga untuk memelihara keseimbangan asam basa (Wahju,1997). Fungsi kalsium bagi tubuh antara lain penyusun tulang dan gigi, kulit telur, air susu dan pertumbuhan, proses pembekuan darah, pengatur detak jantung dan otot, menjaga iritabilitas system syaraf, mengatur keseimbangan asam-basa, menjaga permiabilitas membran sel (Kamal,1999). Fungsi dari kalsium adalah untuk membentuk rangka yang kuat serta melindungi organ yang penting serta membantu pergerakan dan pertumbuhan (Bangun, et al. 2013).

IV.            Alat dan Bahan
Alat
·           Buret 50 mL atau alat titrasi lain dengan skala yang jelas;
·           Labu Erlenmeyer 250 mL dan 500 mL;
·           Labu ukur 250 mL dan 1000 mL;
·           Gelas ukur 100 mL;
·           Pipet volume 10 mL dan 50 mL;
·           Pipet ukur 10 mL;
·           Gelas piala 50 mL, 250 mL dan 1000 mL;
·           Spatula;
·           Pengaduk gelas;
·           Pemanas listrik;
·           Timbangan analitik;
·           Kaca arloji;

Bahan
·           Indikator mureksid
·           Indikator Eriochrome Black T
·           Larutan natrium hidroksida (NaOH) 1 N
·           Larutan penyangga pH 10 + 0,1
·           Larutan standar kalsium karbonat (0,01 M)
·           Larutan baku dinatrium etilendiamin tetra asetat dihidrat  0,01 M
·           Larutan Na2EDTA + 0,01 M

V.            Prosedur Kerja
1.    Ambil 50,0 mL contoh uji secara duplo, masukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL.
2.    Tambahkan 2 mL larutan NaOH 1 N (secukupnya) sampai dicapai pH 12-13.
3.    Apabila contoh uji keruh, tambahkan 1mL sampai dengan 2 mL larutan KCN 10%.
4.    Tambahkan seujung spatula atau setara dengan 30 mg - 50 mg indikator mureksid.
5.    Lakukan titrasi dengan larutan baku Na2EDTA 0,01 M sampai terjadi perubahan warna merah muda menjadi ungu.
6.    Catat volume larutan baku Na2EDTA yang digunakan.
7.    Apabila larutan Na2EDTA yang dibutuhkan untuk titrasi lebih dari 15 mL, encerkan contoh uji dengan air suling dan ulangi langkah 3.6.a). s/d 3.6.f) dari 3.6.
8.    Ulangi titrasi tersebut 2 kali, kemudian volume Na2EDTA yang digunakan dirata-ratakan.
9.    Jika spike matrix digunakan sebagai control mutu, lakukan dengan cara sebagai berikut: Ambil 15 mL contoh uji, tambahkan 10 mL larutan standar kalsium karbonat 0,01 M dan encerkan dengan air suling hingga volumenya 50 mL, masukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL. Lakukan langkah 3.6 b) sampai dengan 3.6 h).

VI.             Data Pengamatan


VII.            Perhitungan
Kadar SO42- =

Air sumur Loktuan 1
Kadar SO42- =
Kadar SO42- =
Kadar SO42- =

Air sumur Loktuan 2
Kadar SO42- =
Kadar SO42- =  =

No
Kode Sampel
Hasil (mg/L)
1
Air Sumur Saleba’
48,5688 mg/L
39,5136 mg/L
2
Air Sumur Loktuan
44,4528 mg/L
39,34896 mg/L
3
Air Sumur Kanaan
13,9944 mg/L
19,7568 mg/L
4
Air Pureit
16,13472 mg/L
16,13472 mg/L

VIII.            Pembahasan
Sulfat didalam lingkungan (air) dapat berada secara ilmiah dan atau dari aktivitas manusia, misalnya dari limbah industri dan limbah laboratorium. Secara ilmiah sulfat biasanya berasal dari pelarutan mineral yang mengandung S, misalnya gips (CaSO4.2H2O) dan kalsium sufat anhidrat ( CaSO4). Selain itu dapat juga berasal dari oksidasi senyawa organik yang mengandung sulfat adalah antara lain industri kertas,tekstil dan industri logam . Ion sulfat merupakan sejenis ion padatan dengan rumus empiris SO4 dengan massa molekul 96.06 satuan massa atom. Sulfat terdiri atom pusat sulfur dikelilingi oleh empat atom oksigen dalam susunan tetrahidron ion sulfat bermuatan dua negatif dan merupakan basa konjugat ion hidrogen sulfat (bisulfit) H2SO4-  yaitu bes konjugat asam sulfat H2SO4 terdapat sulfat organik seperti dimetil sulfat yang merupakan senyawa kovalen dengan rumus (CH3O)2SO2 dan merupakan ester asam  sulfat.
Adapun tujuan dari percobaan yaitu untuk menentukan kadar sulfat dari suatu sampel air dimana sampel yang digunakan pada percobaan ini yaitu sampel air sumur Loktuan.
Pada perlakuan pertama memasukkan 250 mL sampel air sumur Loktuan ke dalam gelas beaker 500 mL kemudian menambahkan larutan HCl 1:1 sebanyak 1 ml kemudian mendidihkannya di atas Hot Plate. Adapun fungsi dari penambahan HCl 1:1 yaitu untuk melarutkan kandungan sulfat yang terdapat pada sampel yang digunakan melalui pemanasan dan tujuan pemanasan itu sendiri yaitu untuk mempercepat kelarutan. Setelah itu menambahkan larutan BaCl1% kemudian memanaskannya kembali selama 30 menit. Adapun tujuan dari penambahan barium klorida  yaitu untuk mengendapkan sulfat dalam bentuk barium sulfat yang terdapat dalam sample air sedangkan tujuan pemanasan disini yaitu untuk menguapkan ion Cl-  yang terdapat pada campuran tersebut sehingga bobot barium sulfat yang diperoleh nantinya maksimal. Setelah itu mendinginkan larutan beberapa menit kemudian menyaring larutan tersebut dengan menggunakan corong yang telah dilapisi dengan kertas saring watman 42 tujuannya yaitu untuk memisahkan filtrate dengan residu, adapun residu yang diperoleh yaitu endapan barium sulfat sedangkan filtratnya yaitu larutan HCl.
       Selanjutnya residu yang diperoleh kemudian mencucinya dengan aquades panas tujuannya yaitu untuk menghilangkan kandungan ion Cl- yang ada pada barium sulfat, selanjutnya endapan/residu yang diperoleh dikeringkan di atas Hot Plate tujuannya yaitu agar endapan/residu yang diperoleh benar-benar kering dan tidak mengandung air lagi setelah itu dipijarkan di dalam oven selama 1 jam dan  setelah dipijarkan, dilakukan  pendinginan Kristal yang terbentuk dan menimbangnya dengan menggunakan neraca analaitik dan diperoleh berat kristalnya yaitu 27 mg dan 23,9 mg,  nilai kadar sulfatnya yaitu 44,4528 mg/L dan39,34896 mg/L.
Kadar Sulfat dalam air sumur Loktuan ini tidak melewati ambang batas maksimum yaitu 250 mg/L jadi, air sumur Loktuan ini masih dikatakan baik dilihat dari kadar sulfatnya.


IX.            Kesimpulan
Pada praktikum penetapan kadar Sulfat dalam sampel air diperoleh:
1.    Kadar sulfat dalam sampel air Loktuan 1 ini sebesar 44,4528 ppm.
2.    Kadar sulfat dalam sampel air Loktuan 2 ini sebesar 39,34896 ppm.

X.            Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Laporan Penentuan Kadar Sulfat.
Jakaoktasano. 2012. Analisis Grafimetri Penentuan Kadar Sulfat.
Staf Pengajar. 2012. Penuntun Praktikum Kimia Lingkungan. UNTAD Press. Palu
Yusuf. 2011. Laporan Penentuan Kadar Sulfat.

Analisis air dengan parameter (KOK) Kebutuhan Oksigen Kimiawi refluks terbuka secara titrimetri


I.            Sub Judul
Analisis air dengan parameter (KOK) Kebutuhan Oksigen Kimiawi refluks terbuka secara titrimetri.
II.            Tujuan
Siswa dapat menganalisis air dengan perameter (KOK) Kebutuhan Oksigen Kimiawi refluks terbuka secara titrimetri.
III.            Dasar Teori
Chemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Dalam hal ini bahan buangan organik akan dioksidasi oleh kalium bikromat (K2Cr2O7) dalam keadaan asam menjadi gas kabondioksida (CO2) dan air (H2O) serta sejumlah ion krom. Kalium bikromat digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent).

          Jumlah oksigen yang diperlukaan untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan organik sama dengan jumlah kalium bikromat yang terpakai pada reaksi oksidasi, maka makin banyak oksigen yang dibutuhkan, berarti air lingkungan makin banyak tercemar oleh bahan buangan organik.
Chemical Oxygen Demand (COD) atau Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam satu liter sampel air, dimana pengoksidanya adalah kalium bikromat (K2Cr2O7) atau kalium permanganate (KMnO4). Misal, COD = 150 mg/l berarti dalam 1 liter limbah cair terdapat senyawa organik jumlahnya setara dengan 150 mg O2. Angka Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sebagian besar zat organik melalui tes COD ini dioksidasi oleh kalium bikromat (K2Cr2O7) dalam keadaan asam yang mendidih optimum,
Perak sulfat (Ag2SO4) ditambahkan sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi. Sedangkan merkuri sulfat ditambahkan untuk menghilangkan gangguan klorida yang pada umumnya ada di dalam air buangan.
Untuk memastikan bahwa hampir semua zat organik habis teroksidasi maka zat pengoksidasi K2Cr2O7 masih harus tersisa sesudah direfluks. K2Cr2O7 yang tersisa menentukan berapa besar oksigen yang telah terpakai. Sisa K2Cr2O7 tersebut ditentukan melalui titrasi dengan ferro ammonium sulfat (FAS). Reaksi yang berlangsung adalah sebagai berikut.
Indikator ferroin digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi yaitu disaat warna hijau biru larutan berubah menjadi coklat merah. Sisa K2Cr2O7 dalam larutan blanko adalah K2Cr2O7 awal, karena diharapkan blanko tidak mengandung zat organik yang dioksidasi oleh K2Cr2O7.
Biochemical Oxygen Demand menunjukkan jumlah oksigen dalam satuan ppm yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecahkan bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air. Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri. Penguraian zat organik adalah peristiwa alamiah, apabila suatu badan air dicemari oleh zat oragnik, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut. Beberapa zat organik maupun anorganik dapat bersifat racun misalnya sianida, tembaga, dan sebagainya, sehingga harus dikurangi sampai batas yang diinginkan. Berkurangnya oksigen selama biooksidasi ini sebenarnya selain digunakan untuk oksidasi bahan organik, juga digunakan dalam proses sintesa sel serta oksidasi sel dari mikroorganisme. Oleh karena itu uji BOD ini tidak dapat digunakan untuk mengukur jumlah bahan-bahan organik yang sebenarnya terdapat di dalam air, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah konsumsi oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi bahan organic tersebut. Semakin banyak oksigen yang dikonsumsi, maka semakin banyak pula kandungan bahan-bahan organik di dalamnya.
Oksigen yang dikonsumsi dalam uji BOD ini dapat diketahui dengan menginkubasikan contoh air pada suhu 20ºC selama lima hari. Untuk memecahkan bahan-bahan organik tersebut secara sempurna pada suhu 20ºC sebenarnya dibutuhkan waktu lebih dari 20 hari, tetapi untuk prasktisnya diambil waktu lima hari sebagai standar. Inkubasi selama lima hari tersebut hanya dapat mengukur kira-kira 68 persen dari total BOD (Sasongko, Setia B. 1990).
Dalam kegiatan pengukuran kualitas limbah cair industri, terdapat beberapa parameter yang diperiksa oleh laboratorium lingkungan. Dari beberapa parameter air limbah, BOD5 dan COD merupakan dua parameter yang biasa diperiksa.
BOD5 ( Biochemical Oxygen Demand, 5 days ). Industri yang menggunakan bahan-bahan organik, baik alami maupun sintetis, akan menghasilkan limbah cair yang mengandung senyawa organik. Salah satu jenis senyawa tersebut adalah senyawa organik terurai ( biodegradable organics ) atau senyawa yang dapat dikonsumsi oleh mikroba. Parameter BOD5 sebenarnya menunjukan jumlah oksigen (mg O2) yang dikonsumsi mikroba aerobik saat menguraikan organik terurai dalam waktu 5 hari pada 1 liter limbah cair. Contoh : BOD5 = 100 mg/l berarti dalam 1 liter limbah cair terdapat sejumlah organik terurai yang membutuhkan O2 sebanyak 100 mg agar mikroba aerobic dapat menguraikannya dalam 5 hari. Organik terurai (biodegradable organics) : terdiri dari berbagai senyawa organik yang dapat diuraikan oleh mikroba, seperti karbohidrat, protein, sukrosa, glukosa dan lemak.
COD (Chemical Oxygen Demand). Selain senyawa organik terurai , limbah cair juga megandung senyawa organik yang tidak terurai (non biodegradable organics). Untuk memperkirakan jumlah total ke-2 jenis senyawa organik tersebut, dapat digunakan parameter COD. Parameter COD sebenarnya menunjukan jumlah oksigen (mg O2) yang ada dalam senyawa oksidan yang dibutuhkan untuk menguraikan seluruh senyawa organik yang terkandung dalam 1 liter limbah cair. Contohnya, COD = 150 mg/l berarti dalam 1 liter limbah cair terdapat senyawa organik jumlahnya setara dengan 150 mg O2. Selisih antara nilai COD dan nilai BOD 5 dari suatu limbah cair dianggap menunjukan jumlah senyawa organik tak terurai.
                             Jumlah organik tak terurai = COD – BOD5
Organik sulit terurai ( non biodegradable organics ) : Terdiri dari berbagai jenis senyawa organik yang sangat sulit diuraikan oleh mikroba, seperti herbisida, deterjen, sellulosa, minyak dan oli (Andi Wahyudin. 2011).
Biological Oxigen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis merupakan suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global mendekati proses-proses mikrobiologis dalam air. Pemeriksaan BOD didasarkan pada reaksi oksidasi zat organis dengan oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobik. Jadi nilai BOD tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut. Jika konsumsi oksigen tertinggi yang ditunjukan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang dibutuhkan oksigen tinggi.
Organisme hidup yang bersifat aerobik membutuhkan oksigen untuk beberapa reaksi biokimia, yaitu untuk mengoksidasi bahan organik, sintesa sel, dan oksidasi sel. Komponen organik yang mengandung senyawa nitrogen dapat pula di oksidasi menjadi nitrat, sedangkan komponen organik yang mengandung sulfur dapat di oksidasi menjadi sulfat. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasikan air pada suhu 200ºC selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi. Pengukuran selama 5 hari dengan suhu 200ºC ini hanya menghitung sebanyak 68% bahan organik yang teroksidasi, tetapi suhu dan waktu yang digunakan tersebut merupakan standar uji karena untuk mengoksidasi bahan organik seluruhnya secara sempurna diperlukan waktu yang lebih lama, yaitu mungkin sampai 20 hari sehingga dianggap tidak efisien.
Air yang hampir murni mempunyai nilai BOD kira-kira 1 ppm, dan air yang memiliki nilai BOD 3 ppm masih di anggap cukup murni, tetapi kemurnia air diragunakn jika nilai BOD-nya mencapai 5 ppm atau lebih. Bahan buangan industri pengolahan pangan seperti industri pengalengan, industri susu, industri gula dan sebagainya memiliki nilai BOD yang bervariasi, yaitu mulai 100 ppm sampai 10.000 ppm, oleh karena itu harus mengalami penanganan atau pengeceran yang tinggi sekali pada saat pembuangan ke badan air disekitarnya seperti, sungai ataupun ke laut, yaitu untuk mencegah terjadinya penurunan konsentrasi oksigen terlarut dengan cepat di dalam badan air tempat pembungan bahan-bahan tersebut. Masalah yang timbul adalah apabila konsentrasi oksigen terlarut badan air tersebut sebelumnya sudah terlalu rendah.
Sebagai akibat menurunnya oksigen terlarut di dalam air adalah menurunnya kehidupan hewan dan tanaman air. Hal ini disebabkan karena mahluk-mahluk hidup tersebut banyak yang mati atau melakukan migrasi ke tempat lainnya yang konsentrasi oksigennya masih cukup tinggi. Jika konsentrasi oksigen terlarut sudah terlalu rendah, maka mikroorganisme aerobik tidak dapat hidup dan berkembang biak, tetapi sebaliknya mikroorganisme yang bersifat anaerobik akan menjadi aktif untuk memecah bahan-bahan tersebut secara anaerobik karena tidak adanya oksigen.
Senyawa-senyawa hasil pemecahan secara anaerobik seperti amin, H2S dan komponen fosfor mempunyai bau yang menyengat, misalnya amin berbau anyir dan H2S berbau busuk. Oleh karena itu perubahan badan air dari kondisi aerobik menjadi anaerobik tidak dikehendaki.
Cara Menentukan Nilai BOD, COD dan DO. Kebanyakan bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen mengandung karbon sebagai unsur yang terbanyak. Salah satu reaksi yang terjadi dengan pertolongan bakteri adalah oksidasi karbon menjadi karbon dioksida sebagai berikut :
C + O2                                   CO2
Dalam reaksi ini diperlukan 32 gram oksigen untuk mengoksidasi 12 gram karbon. Jadi karbon memerlukan oksigen sebanyak 3 kali beratnya untuk melangsungkan reaksi tersebut, atau diperlukan 9 ppm oksigen untuk bereaksi dengan kira-kira 3 ppm karbon terlarut.
Reaksi tersebut di atas disebut reaksi pembakaran sempurna. Tetapi sebelum terbentuknya CO2 mungkin akan terbentuk hasil-hasil oksidasi sementara seperti alkohol, asam, amina, ammonia dan hidrogen sulfida. Senyawa-senyawa tersebut selain berbau busuk juga bersifat racun terhadap hewan dan manusia.
Karena bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen dapat menurunkan oksigen terlatur di dalam air dengan cepat, maka uji terhadap bahan-bahan buangan tersebut penting dilakukan untuk mengetahui polusi air. Untuk mengetahui adanya polutan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu uji BOD (biochemical oxygen demand) dan uji COD (chemical oxygen demand). Pada prinsipnya kedua uji tersebut mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan tersebut melalui reaksi biokimia oleh organisme hidup (dalam uji BOD) atau melalui reaksi kimia (dalam uji COD).
Pada uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah : Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau bahan-bahan tereduksi lainnya yang disebut juga “intermediate axygen demand”. Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal 5 hari. Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukan nilai total BOD melainkan hanya kira-kira 68% dari total BOD. Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat di dalam air tersebut., misal adanya germisida seperti khlorin dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk merombak bahan organik, sehingga hasil uji BOD menjadi kurang teliti (Anto Susanto. 2010).

IV.            Alat dan Bahan
Alat
·           peralatan refluks, yang terdiri dari labu erlenmeyer, pendingin Liebig 30 cm;
·           hot plate atau yang setara;
·           labu ukur 100 mL dan 1000 mL;
·           buret 25 mL atau 50 mL;
·           pipet volum 5 mL; 10 mL; 15 mL dan 50 mL;
·           erlenmeyer 250 mL (labu refluk); dan
·           timbangan analitik.

Bahan
·           Larutan baku kalium dikromat 0,25 N.
Larutkan 12,259 g K2Cr2O7 (yang telah dikeringkan pada 1500C selama 2 jam) dengan air suling dan tepatkan sampai 1000 mL.
·           Larutan asam sulfat – perak sulfat.
Tambahkan 5,5 g Ag2SO4 kedalam 1 kg asam sulfat pekat atau 10,12 g Ag2SO4 dalam 1000 mL asam sulfat pekat , aduk dan biarkan 1 hari sampai 2 hari untuk melarutkan.
·           Larutan indikator ferroin.
Larutkan 1,485 g 1,10 phenanthrolin monohidrat dan 0,695 g FeSO4.7H2O dalam air suling dan encerkan sampai 100 mL.
·           Larutan Ferro Ammonium Sulfat (FAS) 0,1 N.
Larutkan 39,2 g Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O dalam air suling, tambahkan 20 mL H2SO4 pekat, dinginkan dan tepatkan sampai 1000 mL. Bakukan larutan ini dengan larutan baku kalium dikromat 0,25 N.
·           Larutan baku potasium hidrogen phthalat (KHP).
Larutkan 425 mg KHP (yang telah dihaluskan dan dikeringkan pada 1100C), dalam air suling dan tepatkan sampai 1000 mL. Larutan ini mempunyai kadar KOK 500 mg/L O2. Bila disimpan dalam refrigerator dapat digunakan sampai 1 minggu selama tidak ada pertumbuhan mikroba.
·           Asam sulfamat.
Hanya digunakan jika ada gangguan nitrit, 10 mg asam sulfamat untuk 1 mg nitrit
·           Serbuk merkuri sulfat, HgSO4.
·           Batu didih

V.            Prosedur Kerja
1.         Aduk contoh uji hingga homogen dan segera lakukan analisis.
2.         Contoh uji diawetkan dengan menambahkan H2SO4 sampai pH lebih kecil dari 2,0 dan contoh uji disimpan pada pendingin 4oC dengan waktu simpan 7 hari.
3.         Pipet 10 mL contoh uji, masukkan kedalam erlenmeyer 250 mL.
4.         Tambahkan 0,2 g serbuk HgSO4 dan beberapa batu didih.
5.         Tambahkan 5 mL larutan kalium dikromat, K2Cr2O7 0,25 N.
6.         Tambahkan 15 mL pereaksi asam sulfat – perak sulfat perlahan-lahan sambil didinginkan dalam air pendingin.
7.         Hubungkan dengan pendingin Liebig dan didihkan diatas hot plate selama 2 jam.
8.         Dinginkan dan cuci bagian dalam dari pendingin dengan air suling hingga volume contoh uji menjadi lebih kurang 70 mL.
9.         Dinginkan sampai temperatur kamar, tambahkan indikator ferroin 2 sampai dengan 3 tetes, titrasi dengan larutan FAS 0,1 N sampai warna merah kecoklatan, catat kebutuhan larutan FAS.
10.     Lakukan langkah 3.5 a) sampai dengan 3.5 g) terhadap air suling sebagai blanko. Catat kebutuhan larutan FAS. Analisis blanko ini sekaligus melakukan pembakuan larutan
11.     FAS dan dilakukan setiap penentuan KOK.

Perhitungan :
a)      Normalitas larutan FAS
dengan pengertian :
V1 adalah volume larutan K2Cr2O7 yang digunakan, mL;
V2 adalah volume larutan FAS yang dibutuhkan, mL;
N1 adalah Normalitas larutan K2Cr2O7.
b)     Kadar KOK
dengan pengertian :
A adalah volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk blanko, mL;
B adalah volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk contoh, mL;
N adalah normalitas larutan FAS.














VI.             Data Pengamatan
No
Kode Sampel
Vol. sampel
Volume Titrasi
Fp
Hasil (mg/L)
1
Air Sumur Saleba’
10 mL
12,4 mL
1

12,5 mL
1

2
Air Sumur Loktuan
10 mL
12,3 mL
1

12,1 mL
1

3
Air Isi Ulang T. Laut
10 mL
12,3 mL
1

12,2 mL
1

4
Air Pureit
10 mL
12,4 mL
1

12,1 mL
1


Perhitungan :
Titrasi Blanko                    = 11,4 mL
Larutan [FAS]                    =  = 0,1096 N

Sampel Air Sumur Loktuan

Kadar
                                                         
                                              = -78.912 ppm

Kadar
                                         
                                          = - 61,376 ppm





VII.            Pembahasan
Pada praktikum kali ini yaitu menentukan kandungan COD dalam sampel air sumur yang disediakan..Kandungan COD merupakan kandungan bahan pencemar berupa senyawa kimia yang menyerap oksigen terlarut (DO) dalam air yang digunakan untuk keperluan oksidasi dan mengubahnya menjadi bentuk senyawa lain. Dengan tingginya kadar bahan kimia yang menyerap oksigen terlarut dalam air dapat menyebabkan biota-biota yang hidup dalam air seperti ikan dan hewan lainnya mengalami kekurangan oksigen, yang akan berakibat menurunkan daya hidup biota tersebut. Kadar pencemaran itu karena adanya banyak limbah organic dan limbah anorganik yang dibuang keperairan. Satndar mutu air tersebut diukur dengan angka parameter dalm satuan mg/L. dengan indeks baik (I),sedang (II),kurang (III), dan kurang sekali (1V). Untuk COD masing-masing berturut-turut 20,100,300 dan 500. Sedangkan untuk BOD 40,200,500,dan 1000.
Sampel yang praktikan amati pertama diberi padatan HgSO4, Tujuan dari penambahan HgSO4 yaitu untuk menghilangkan ion klorida yang biasanya terdapat di dalam air buangan dengan cara mengikatnya membentuk kompleks HgCl seperti reaksi berikut : Hg+ + Cl- → HgCl. Hal ini dikarenakan ion klorida merupakan bahan inorganik yang dapat mengganggu proses oksidasi. pelarut K2Cr2O7 berlebih  berfungsi untuk mengoksidasi zat organik dalam sampel, larutan berwarna Kuning. Selanjutnya ditambahkan 15 mL pereaksi asam sulfat – perak sulfat perlahan-lahan sambil didinginkan dalam air pendingin Berfungsi sebagai katalisator (memepercepat reaksi), karena akan menyebabkan suhu yang tinggi pada larutan campuran ketika ditambahkan dalam larutan sehingga akan mempercepat reaksi, dan memanaskannya selama 2 jam di atas Hot Plate dengan suhu 110oC dan selanjutnya dititer dengan FAS Larutan ini digunakan sebagai titran, yaitu mentitrasi sisa K2Cr2O7 dengan menggunakan indicator ferroin Fungsi dari larutan indicator ini yaitu sebagai penentu terjadinya titik akhir titrasi, yaitu ketika warna larutan berubah dari hijau kebiruan menjadi merah kecoklatan. Indikator Ini bekerja pada pH antara 4-7  sehingga cocok digunakan untuk menganalisis kandungan COD dalam sampel, titrasi dihentikan setelah larutan berwarna biru hilang. Volume pentiter didapat 12,3 mL dan 12,1 mL sedangkan blanko didapat 11,4 mL. Setelah dilakukan perhitungan terhadap kandungan COD dengan rumus didapat kandungan COD dalam sampel air yang diberikan adalah minus.
Melihat data indeks dari hasil perhitungan tersebut didapat bahwa mutu dari kandungan COD yang diberikan dalam sampel adalah minus. Berarti sampel air tersebut tidak mengandung oksigen kimiawi akibat bahan organik. Ditandai banyaknya titrasi sampel dibandingan dengan titrasi blanko.
Penyebab-penyebab didapatkan kadar COD minus yaitu:
1.         Blanko yang praktikan gunakan yaitu air suling yang tentunya mengandung kadar COD yang memungkinkan kadar CODnya lebih tinggi dari pada sampel, sehingga volume titrasi blanko lebih sedikit dari pada sampel.
2.         Pada saat pemanasan di atas Hot Plate, larutan blanko mendidih sehingga warna larutan berubah menjadi kuning tua yang seharusnya berwarna kuning bening, sehingga warna larutan ini yaitu warna K2Cr2O7 mempengaruhi titik akhir titrasi.


VIII.            Kesimpulan
Pada praktikum penetapan kadar Sulfat dalam sampel air diperoleh:
1.     Kadar COD dalam sampel air Loktuan 1 ini sebesar -78.912 ppm
2.     Kadar COD dalam sampel air Loktuan 2 ini sebesar - 61,376 ppm








IX.            Daftar Pustaka
Mulia, Ricki M. Kesehatan Lingkungan, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005
Mukono. H. J. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan, Surabaya: Airlangga University Press. 2006.
Susilawaty, Andi, dkk. Panduan Praktikum Kesehatan Lingkungan, Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2011